Selasa, 17 Mei 2011

Lingkup Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Indonesia

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pembangunan ekonomi Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa terutama setelah pemerintah orde baru memegang kendali pemerintahan. Pembangunan ekonomi juga merupakan tujuan pokok pembangunan Indonesia yang bertumpu pada titik unsur penting yaitu pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas nasional. Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada devisa migas. Namun kemudian, ketika harga migas turun pada tahun 1980-an pemerintah mulai menitikberatkan perhatiannya pada program reformasi struktural yang ditujukan untuk memelihara pertumbuhan ekonomi serta mendorong ekonomi sektor swasta dan strategi pertumbuhan ekspor. Untuk ini pemerintah menitikberatkan pada tiga tujuan penting :
1.       Menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan industri, termasuk mempertahankan stabilitas ekonomi makro, pelaksanaan reformasi perdagangan lebih lanjut dan deregulasi industri, memperkuat sektor finansial dan meningkatkan kerangka institusi dan hukum yang menunjang perkembangan sektor swasta;
2.       Investasi di bidang infrastruktur dan pembangunan sumber daya manusia, untuk meyakinkan bahwa  perkembangan sektor swasta tidak dihambat oleh kurangya fasilitas komunikasi, transportasi, energi listrik dan sebagainya. Disamping itu sumber daya manusia ditingkatkan keahlian dan kemampuannya untuk mendukung pengembangan teknologi tinggi dan menjadi tenga kerja yang meningkatkan proses nilai tambah.
3.       Melakukan intervensi yang terarah bagi usaha mengurangi kemiskinan dan melindungi lingkungan, sekiranya kekuatan pasar tidak mampu menciptakan pemerataan dan keadilan dalam proses pembangunan dan mempertimbangkan dampak positif dan negatif pembangunan terhadap lingkungan.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat baik dari sektor primer (pertanian dan pertambangan), sekunder (industri) dan tersier (jasa) telah pula melahirkan kekhawatiran baru. Perkembangan sektor industri yang pesat telah mendorong urbanisasi ke kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan yang kini sudah termasuk kota raksasa dunia. Pertumbuhan industri baik jumlah maupun kapasitasnya telah mengancam lingkungan melalui polusi udara dan air yang ditimbulkannya. Di perkotaan sendiri, kepadatan penduduk, kondisi perumahan dan sanitasi juga menjadi masalah tersendiri. Pertumbuhan industri dan kota telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.
Di sektor primer (pertanian), penerapan teknologi intensif-modern telah meningkatkan produktifitas lahan yang tinggi, pendapatan usahatani dan kesempatan kerja, tapi pada dekade terakhir ini telah mulai dirasakan adanya dampak negatif terhadap lingkungan. Masalah seperti kehilangan keragaman hayati (biological diversity), erosi atau degradasi lahan, polusi telah mendapat perhatian yang serius. Kegiatan primer berupa eksploitasi alam lainnya seperti deforestrasi (baik resmi maupun tidak resmi) menimbulkan masalah tersendiri.
Pertumbuhan sektor jasa khususnya pariwisata bukannya tidak membawa dampak negatif terhadap sosial dan lingkungan. Membludaknya turis di lokasi-lokasi pariwisata utama menimbulkan banyak masalah seperti kepadatan penduduk, kemacetan, degradasi sumber daya alam (natural environment) dan obyek-obyek buatan manusia (man made environment) sekitar lokasi, srta masalah yang muncul karena terjadinya benturan antara budaya lokal dan budaya pendatang. Oleh karena itu, perlu diteliti bagaimana dampak pengembangan pariwisata ini terhadaplingkungan alam, fisik dan sosial. Dengan demikian bisa dikembangkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (ecologically sustainable tourism).
Pembangunan di Indonesia selama puluhan tahun sudah banyak membawa hasil nyata dalam kemajuan kesejahteraan rakyat, mengangkat sebagian masyarakat dari kemiskinan. Sebagian sumber daya alam yang merupakan kekayaan alam Indonesia memang sudah banyak didayagunakan untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan. Meski demikian, pembangunan juga telah membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup di Indonesia, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, yang semakin parah dan kompleks dari hari ke hari.
Kemajuan yang diperoleh sebagai hasil pembangunan di Indonesia harus diakui sudah banyak terlihat, namun ternyata di balik keberhasilan itu terdapat hal yang tidak atau nyaris tidak diperhatikan dalam pembuatan dan terutama adalah dalam hal implementasi kebijakan, yaitu kerusakan lingkungan yang merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan. Sisi negatif dari pembangunan, yang nampaknya sudah lebih besar daripada manfaat (sisi positif) yang diperoleh dari kegiatan pembangunan.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, akan dibahas secara khusus tentang peluang dan tantangan pembangunan berwawasan lingkungan di Indonesia. Oleh karena itu, masalah lingkungan yang menonjol di Indonesia akan dibahas secara ringkas, serta langkah kebijaksanaan pemerintah untuk mencapainya. Selain itu dikemukakan faktor-faktor yang harus diperhatikan agar pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan mendapat dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat.
B.       Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui masalah lingkungan yang menonjol di Indonesia, serta langkah kebijaksanaan pemerintah untuk mencapainya. Selain itu dikemukakan faktor-faktor yang harus diperhatikan agar pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan mendapat dukungan dan partisipasi seluruh masyarakat.

ISI

Dampak pembangunan ekonomi ternyata mempunyai sisi ganda yaitu sisi cerah dan sisi suram. Dampak yang cerah ialah dampak positifnya terhadap masyarakat dan sisi suramnya adalah dampak negatifnya terhadap lingkungan. Karena dua faktor ini saling terkait dan berinteraksi, maka perhatian terhadap lingkungan juga akan memberikan dampak positif terhadap pembanguna ekonomi dalam jangka panjang. Jika faktor sosial dan lingkungan ini tidak diperhatikan, maka kebijaksanaan ekonomi akan hanya menguntungkan dalam jangka pendek dan mengakibatkan degradasi lingkungan dari waktu ke waktu yang akhirnya bisa jadi kapasitas sumberdaya alam tidak lagi bisa menopang kehidupan masyarakat di masa mendatang. Maka diperlukan adanya proses integrasi antara pembangunan ekonomi dan lingkungan dalam kebijaksanaan pembangunan lebih lanjut, yang sekarang dikenal dengan konsep pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development).
A.      Masalah Lingkungan di Indonesia
Perubahan ekosistem lingkungan yang paling utama disebabkan oleh perilaku masyarakat yang kurang baik dalam pemanfaatan sumber-sumber daya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan ekosistem suatu lingkungan terjadi dengan adanya kegiatan masyarakat seperti pemanfaatan lahan yang dijadikan sebagai daerah pertanian sehingga dapat mengurangi luas lahan lainnya. Adanya pertambahan jumlah penduduk dalam memanfaatkan lingkungan akan membawa dampak bagi mata rantai yang ada dalam suatu ekosistem. Selain itu kerusakan hutan yang terjadi karena adanya penebangan dan kebakaran hutan dapat mengakibatkan banyak hewan dan tumbuhan yang punah. Dampak dari perubahan ekosistem akan berkurang jika masyarakat mengetahui dan memahami fungsi dari suatu ekosistem tersebut. Kerusakan ekosistem membawa dampak bukan hanya pada keanekaragaman terhadap flora dan fauna juga dapat membawa pengaruh lain terhadap masyarakat itu sendiri seperti longsor, banjir dan erosi. Selain itu kerusakan lingkungan bisa di sebabkan oleh sampah. Sampah yang semakin banyak dapat menimbulkan penguapan sungai dan kehabisan zat asam yang sangat dibutuhkan bagi mikroorganisme yang hidup di sungai.
Sebagai negara yang sedang berkembang, pembangunan sektor primer (pertanian dan pertambangan) dan sektor sekunder (industri) tidak hanya membawa implikasi sosial ekonomi tetapi juga implikasi terhadap lingkungan hidup baik positif maupun negatif. Sebagai negara yang baru tumbuh, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang cepat, bisa membawa implikasi serius terhadap lingkungan karena perangkat kebijaksanaan serta infrastruktur yang mampu menekan efek negatif tersebut belum memadai. Walaupun sebagian besar efek negatif lingkungan di Indonesia banyak disebabkan aktifitas ekonomi di sektor primer seperti pertanian dan pertambangan (deforestrasi, erosi dan sebagainya) perkembangan sektor industri yang pesat telah menjadi ancaman serius terhadap lingkungan mulai menjadi serius. Hal ini terlihat dengan meningkatnya kadar polusi udara dan air, serta kurangnya sanitasi yang dipacu lagi oleh jumlah penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu.
Jika diklasifikasi, ada empat masalah lingkungan yang sangat serius yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, yaitu :
1. Deforestrasi
Deforestrasi adalah pengalihan fungsi hutan seperti eksploitasi hutan baik yang resmi maupun tidak resmi. Hutan Indonesia menduduki tempat kedua dalam luas setelah Brazil dan mewakili 10 persen dari hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hampir 75 persen dari luas lahan Indonesia digolongkan sebagai areal hutan (sekitar 144 juta hektar) dan 100-110 juta hektar diperkirakan sebagai hutan lindung (closed  canopy) yang lebih kurang 60 juta diperuntukkan bagi hutan produksi.
Proses deforestrasi yang berlangsung dengan tingkat tinggi akan mengancam penyediaan bahan kayu dasar dan produk hutan sekunder dan mengurangi pelayanan lingkungan seperti proteksi sumber mata air dan preservasi habitat alam yang penting. Degradasi hutan yang diakibatkan oleh proses deforestrasi di Indonesia tergolong tinggi. Hal ini disebabkan bukan hanya karena kebijaksanaan pemerintah melalui transmigrasi dan pemberian hak penguasaan hutan (HPH) tapi juga karena aktifitas masyarakat individu maupun kelompok. Kebijaksanaan pemerintah yang mengakibatkan proses deforestrasi adalah ijin HPH karena alasan ekonomi. Kemudian melalui pengembangan industri-industri kertas, pulp dan pengolahan kayu di Indonesia yang dikenal dengan tebang pilih  (the selective logging) sekitar 3000 mil kubik dari hutan ”perawan” pertahun dan perubahan (conversion) sebanyak 16000 mil kubik untuk pertanian dan perkebunan pada tahun 1994. kebijaksanaan konsesi atau kemudahan penebangan hutan (logging concession) telah ikut pula memperparah keadaan deforestrasi.
Selain itu, program transmigrasi, baik yang terorganisir maupun spontan, membuka lahan yang luas yang awalnya merupakan hutan alam, juga membantu terjadi proses deforestrasi yang menonjol. Selain aktifitas masyarakat menyebabkan proses deforestrasi misalnya dengan masih adanya perladangan berpindah di beberapa daerah dan aktifitas yang tidak terpuji lainnya seperti pencurian kayu atau penebangan liar dan sebagainya. Jika kebijaksanaan dan perilaku masyarakat ini berlanjut terus menerus maka perlu diatur bagaimana penggunaan sumber daya hutan agar sustainable dengan kata lain diupayakan bagaimana mengelola hutan agar tidak sampai menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Tingkat deforestrasi yang tinggi mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga bisa menimbulkan masalah-masalah lingkungan yang serius seperti erosi dan penurunan kualitas lahan, berkurangnya keragaman hayati (biological diversity) serta bahkan kenaikan suhu bumi (globalwarming). World Resources Institute (1993) menempatkan bahwa masalah degradasi hutan tropis akibat deforestrasi (rainforest degradation) merupakan masalah lingkungan utama di Indonesia.
Proses deforestrasi juga terjadi pada hutan bakau (mangrove forests). Pengembangan tambak/kolam ikan dan produksi garam; serta kegiatan lain seperti perluasan perumahan penduduk, pembuatan atau pelebaran jalan; dan aktifitas penduduk sekitar untuk kayu bakar dan arang misalnya beberapa faktor yang memberikan kontribusi yang berarti terhadap proses deforestrasi tersebut. Deforestrasi hutan bakau ini telah membawa dampak lingkungan tersendiri. Fungsi dan perannya dalam menjaga keseimbangan ekologi daerah pantai menjadi terganggu. Fungsinya sebagai proteksi pantai dari erosi dan luapan sedimen dari daratan menjadi berkurang. Selain itu, hutan bakau sebagai habitat berbagai tanaman dan hewan laut menjadi terancam sehingga masalah kehilangan keragaman hayati (loss of bilogical diversity) disekitar daerah pantai ini diduga sangat besar. Maka perhatian yang serius dalam penanganan hutan bakau perlu diupayakan agar efek lebih lanjut yang lebih parah bisa dihindari.
Pemerintah Indonesia telah mengijinkan eksploitasi secara komersial dengan memberikan lebih dari 500 HPH. Dalam pengelolaannya para pemegang HPH dianjurkan untuk melaksanakan pendekatan ”Tebang Pilih” yang mengkombinasikan tebang dan tanam secara cermat. Dengan sistem ini diharapkan bahwa pengelolaan hutan dapat dilakukan secara berkelanjutan (berwawasan lingkungan). Sayangnya, dalam pelaksaannya, pengelola HPH banyak yang tidak memenuhi konsep yang sebenarnya. Tingkat deforestrasi atau berkurangnya wilayah hutan di Indonesia belum diketahui secara pasti, tapi diperkirakan antara 300.000 sampai 1,3 juta hektar per tahun (the World Bank, 1990).
Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya perlindungan ekosistem hutan tropis Indonesia yang mempunyai peran penting dalam memelihara ekosistem dunia dan mengandung banyak keragaman hayati dunia yang masih tersisa. Untuk kepentingan tersebut, Indonesia telah menyisihkan 19 juta hektar atau 10 persen dari luas wilayah Indonesia sebagai taman nasional dan cagar alam dan 30 juta hektar sebagai hutan lindung tetap untuk melindungi hulu sungai yang utama. Lalu juga direncanakan disediakan sekitar 30 juta untuk wilayah konservasi laut. Jika ini dikelola dengan tepat dengan memperhatikan distribusi rencana tersebut di seluruh Indonesia, mka usaha ini akan sangat membantu mejaga ekosistem alam dan keragaman hayati. Untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya hutan, pemerintah Indonesia mempersiapkan suatu rencana aksi hutan tropis (tropical forest action plan) agar pengelolaan hutan secara berkelanjutan untuk tahun 2000.
2. Degradasi lahan
Populasi manusia adalah ancaman terbesar dari masalah lingkungan hidup di Indonesia dan bahkan dunia. Dengan tingginya laju pertumbuhan populasi, maka jumlah kebutuhan makanan pun meningkat padahal lahan yang ada sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan makanan, maka hutan pun mulai dibabat habis untuk menambah jumlah lahan pertanian yang ujungnya juga makanan untuk manusia. Konversi hutan menjadi tanah pertanian bisa menyebabkan erosi. Selain itu bahan kimia yang dipakai sebagai pupuk juga menurunkan tingkat kesuburan tanah. Dengan adanya pembabatan hutan dan erosi, maka kemampuan tanah untuk menyerap air pun berkurang sehingga menambah resiko dan tingkat bahaya banjir.
Degradasi lahan (land degradation) berupa erosi merupakan masalah lingkungan serius di Indonesia. Masalah terjadi bukan hanya karena proses deforestrasi tetapi juga sebagai dampak dari pertanian yang intensif-modern. Pada daerah luar Jawa, lahan marjinal yang terbaik yang tertutup hutan adalah banyak yang sudah dan sedang dirubah untuk pertanian. Di pulau Jawa, lahan pertanian yang subur telah berubah fungsi menjadi kepentingan perkotaan dan industri, pada daerah dataran tinggi dan sekitar aliran sungai mengalami erosi tanah adalah tinggi. Erosi yang sering diakibatkan oleh penebangan hutan mengancam pengangkutan air, sistem irigasi dan kehidupan ikan-ikan di daerah hilir.
3. Kekurangan air
Kekurangan air (water shortages) merupakan salah satu masalah lingkungan utama di Indonesia. Karena deforestrasi pada daerah dataran tinggi (uplands)telah mengakibatkan meningkatnya permintaan air dan meningkatkan polusi air permukaan akibat erosi. Pada musim kemarau, baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa terjadi kekurangan air permukaan. Sementara itu sumber daya air tanah (groundwater) sekitar kota-kota pantai utama sedang dikuras berlebihan (overdrawn). Kekurangan air ini juga diduga sebagai efek samping dari proses deforestrasi dan erosi. Proses deforestrasi misalnya bisa mengakibatkan berkurangnya sumber mata air bagi keperluan domestik maupun komersial. Sementara itu dengan terjadinya erosi air permukaan menjadi kotor, terutama pada musim hujan, sehingga mengganggu keperluan domestik atau rumah tangga di pedesaan yang masih sangat tergantung pada air permukaan ini.
4. Polusi Udara dan Air
Tingkat pencemaran udara di Indonesia semakin memprihatinkan. Bahkan salah satu studi melaporkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat polusi udara tertinggi ketiga di dunia. World Bank juga menempatkan Jakarta menjadi salah satu kota dengan kadar polutan/partikulat tertinggi setelah Beijing, New Delhi dan Mexico City. Dari semua penyebab polusi udara yang ada, emisi transportasi terbukti sebagai penyumbang pencemaran udara tertinggi di Indonesia, yakni sekitar 85 persen. Hal ini diakibatkan oleh laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor yang tinggi. Sebagian besar kendaraan bermotor itu menghasilkan emisi gas buang yang buruk, baik akibat perawatan yang kurang memadai ataupun dari penggunaan bahan bakar dengan kualitas kurang baik (misalnya kadar timbal yang tinggi). Kebakaran hutan dan industri juga turut berperan.
Proses Industrialisasi dan urbanisasi yang cepat sepanjang pantai utara Jawa telah mengakibatkan tingkat polusi air yang sangat tinggi dan selanjutnya mengancam pertumbuhan industri dan perkotaan. Limbah industri mencemari sungai di kota pelabuhan, menimbulkan resiko kesehatan yang serius pada penduduk perkotaan yang tergantung dari sungai itu untuk kebutuhan air dan ikan, serta membunuh spesies dan merusak batu karang (coral reers) di sepanjang lautan.
Polusi air merupakan masalah utama di Indonesia. Sumber polusi berasal dari industri dan kotoran serta sampah rumah tangga. Selain karena jumlah industri yang semakin banyak, sebagian besar industri belum memiliki alat penanganan limbah yang memadai. Selain karena jumlah penduduk yang besar, kontribusi polusi dari rumah tangga diperparah terbatasnya sistem pembuangan kotoran sampah yang memadai seperti di negara maju. Suplai air yang kurang juga dianggap sebagai faktor sehingga tidak cukup untuk menerapkan sistem pengaliran atau pembuangan kotoran dan limbah yang besar. Di beberapa daerah perkotaan polusi industri sama parahnya dengan polusi dari kotoran dan limbah. Studi yang dilakukan di daerah industri Tangerang pada tahun 1983 menjumpai polusi yang serius pada 10 lokasi yang diteliti. Penemuan yang paling mengkhawatirkan adalah tingginya konsentrasi logam berat dan bahan beracun lainnya pada sejumlah stasiun sepanjang sungai. Hasil penelitian USAID tahun 1987 terhadap ikan dan kerang (shellfish) yang diambil dari Labuhan Jakarta, kandungan logam berat jauh melebihi standar WHO yaitu 76% untuk kadmium (cadmium), 51% untuk tembaga (copper), 44% untuk timah, 38% untuk air raksa dan 2% untuk khrom (chromium). Kandungan PCB dan DDT di dalam air pelabuhan berturut-turut mencapai 9 bagian per billion dan 13 ppb, ini melampaui standar ambang polusi dari WHO yaitu 0,5 ppb. Hasil penelitian tentang polusi air di sungai terpilih di Jawa menunjukkan bahwa polutan yang paling menonjol adalah kotoran manusia yang ditunjukkan oleh besarnya kandungan ”fecal coliform” yang melebihi 1000 adalah lebih dari standar konvensional. Besarnya nilai BOD (biochemical oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) juga melampaui standar konvensional di semua provinsi (World Bank, 1990). Hasil evaluasi terakhir program kali bersih (Prokasih) Sungai Musi menunjukkan, beban pencemaran sungai ini mengalami kenaikan dengan parameter permintaan oksigen kimia (chemical oxygen demand-COD) mencapai sampai 37,08 persen. Penyebab utama dari kondisi ini adalah akibat pembuangan limbah rumah tangga serta industri di sekitarnya. Disamping itu, kontribusi limbah dari sekitar 108 sungai kecil yang bermuara ke Sungai Musi juga besar.
Indonesia beruntung bahwa penggunaan input kimia sektor pertanian bukan kontributor utama terhadap polusi air (misalnya polusi nitrat). Hasil studi AMDAL terhadap rembesan dan aliran input kimia baik pestisida maupun pupuk dari kegiatan pertanian pada Proyek Irigasi Bali pada tahun 1983 menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya relatif kecil sejak pemerintah memperkenalkan pestisida yang bisa larut (degradable pesticides) pada awal tahun 1970-an. Sementara rembesan pestisida di pulau Jawa telah menyebabkan kerusakan ekologi selama bertahun-tahun sebagai akibat penggunaan pestisida keras dan yang tidak larut (nondegradable pesticides) dari program subsidi pemerintah. Berdasarkan laporan tahap pertama Segara Anakan tahun 1986 dan AMDAL Jatigede tahun 1986 menegaskan lagi bahwa baik aliran pestisida maupun pupuk belum mengakibatkan perusakan kualitas air sungai yang berarti (World Bank, 1990).
B.       Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Kebijakan lingkungan yang diformulasikan dan diterapkan di Indonesia seharusnya selalu bermuara pada pelestarian fungsi lingkungan, dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Akan tetapi, ternyata manajemen pemerintahan yang diterapkan di Indonesia belum menunjukkan bukti-bukti nyata ke arah hal tersebut, karena pertumbuhan ekonomilah yang menjadi pegangan. Lebih-lebih dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota. Sangat perlu selalu diperhatikan bahwa sesuai dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, tidak hanya generasi sekarang saja yang sangat berkepentingan dengan lingkungan yang kita nikmati sekarang ini, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah generasi-generasi masa depan, yang juga sangat membutuhkan lingkungan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dan eksistensi mereka.
   Kalau diteliti lebih jauh, Indonesia telah mempunyai komitmen yang sangat lama tentang konsep perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Namun perhatian itu mulai sangat menonjol pada awal tahun 1970-an. Komitmen itu bahkan kemudian dikemukakan pada Konferensi Lingkungan Hidup (Conference on the Living Environment) yang diadakan di Stockholm pada tahun 1972 yang ikut dihadiri oleh Indonesia. Sebagai tindak lanjut, dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973 pemerintah Indonesia menuangkan kehendak pemerintah untuk memperhatikan masalah lingkungan dalam pembangunan nasional. GBHN menekankan bahwa eksploitasi sumber daya alam harus dilaksanakan dengan kebijksanaan yang komperehensif yang mempertimbangkan kepentingan generasi mendatang. Kemudian, pemerintah membentuk Komite Penyusunan Kebijaksanaan Lingkungan (a Commitee for the Formulation of environment Policies) yang berada di bawah koordinasi dari Wakil Ketua BAPPENAS yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Komitmen itu semakin nyata dengan diadakannya Menteri negara untuk lingkungan dan pengawasan pembangunan pada tahun 1978, kemudian dikenal sebagai Menteri kependudukan dan lingkungan hidup pada tahun 1983. Pada kabinet terakhir, tahun 1993,telah berubah menjadi Menteri Lingkungan Hidup. Perhatian pemerintah ini menunjukkan bahwa adanya kesadaran pihak birokrasi tidak hanya terhadap bencana alam dan biaya sosial yang meningkat dan efek samping pembangunan ekonomi, tetapi juga karena meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan. Pentingnya perhatian masalah lingkungan dalam kebijaksaan pembangunan di Indonesia telah diperkuat lagi pada kesempatan merayakan Hari Lingkungan Dunia tahun 1987 dan dalam sambutan para perencana ekonomi terkemuka. Pembangunan berkelanjutan telah menjadi topik khusus pada pertemuan konsorsium pemberi dana (IGGI) di the Hague tahun 1988 dan selanjutnya pengelolaan lingkungan telah menjadi satu tema pokok dalam GBHN Repelita V (1989-1994).
   Pada dekade 70-an dan 80-an kegiatan ditekankan pada peningkatan kesadaran masyarakat tentang isu dan masalah lingkungan dan meletakkan landasan dan unsur penting serta strategi bagi pembangunan dan pertumbuhan sustainable/ berkelanjutan termasuk di dalamnya hukum-hukum dan peraturan, sistem informasi, skill dan keahlian di bidang lingkungan dan jaringan pendukung bagi organisasi lingkungan. Telah banyak hasil yang dicapai dalam perkembangannya.
   Sebagai tindak lanjut dari komitmen pemerintah tersebut, pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang pengelolaan lingkungan pada tahun 1982, sebagai pionir dalam pelaksanaan kebijkasanaan pembangunan berwawasan lingkungan di Indonesia dan sekaligus sebagai batu loncatan bagi perkembangan hukum lingkungan di Indonesia dan menjadi landasan bagi pelaksanaan keputusan dan regulasi yang lebih mendetail. Hukum Pengelolaan Lingkungan nomor 4 tahun 1982 diantaranya memberikan dasar bagi pengelolaan Lingkungan Hidup diantaranya adalah sebagai berikut ;
·           Peranan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup sebagai menteri koordinator untuk lingkungan dirincikan
·           Pemerintah daerah tingkat I diberikan kekuatan eksekutif terhadap masalah lingkungan di wilayahnya
·           Analisa Mengenal Dampak Lingkungan (AMDAL) dianjurkan dan diharuskan untuk tiap proyek yang mempunyai implikasi lingkungan
·           Perlindungan lingkungan akan diatur oleh standar kualitas yang baru. Lalu tiap departemen bertanggung jawab terhadap masalah lingkungan di sektornya masing-masing, misalnya Menteri perindustrian bertanggung jawab terhadap masalah lingkungan pada sektor industri.
Kemudian ditetapkan peraturan pemerintah nomor 29 tahun 1986 yang memberikan petunjuk pelaksanaan proses AMDAL di Indonesia. Peraturan itu juga menjelaskan satu kerangka organisasi dan proses untuk membuat departemen pemerintah pusat untuk menangani pekerjaan pada analisa lingkungan. Keputusan itu mensyaratkan bahwa baik proyek yang sedang berjalan maupun yang sedang diusulkan harus dilakukan AMDAL. Penilaian itu meliputi dampak terhadap sosial budaya dan lingkungan hidup. Keputusan dan peraturan atau regulasi baru mensyaratkan bahwa tiap kegiatan industri yang sudah ada maupun yang sedang diusulkan melengkapi laporan dampak lingkungan awal (bagi kegiatan yang diusulkan) atau laporan evaluasi bagi kegiatan yang sudah ada. Jika kegiatan industri dianggap mempunyai dampak lingkungan yang signifikan, maka AMDAL lengkap disyaratkan. Bagi industri baru, peraturan mensyaratkan bahwa laporan harus dilengkapi sebelum kegiatan dilakukan, bagi industri yang memanfaatkan bahan berbahaya dan beracun dalam proses produksi yang sudah ada, laporannya harus dilengkapi pada sekitar 5 Juni 1990 dan semua perusahaan yang lain harus memberikan laporan pada sekitar 5 Juni 1992 (the World Bank, 1992).
Pada tahun 1989 pemerintah memperkenalkan Program Kali Bersih-PROKASIH (clean river program) sebagai usaha bersama dengan pemerintah daerah (DKI) untuk mengatasi polusi industri yang mencemari sungai-sungai. Pada tahun yang sama juga diperkenalkan program Adipura yang menilai kota dari segi lingkungan (kebersihan) dan faktor-faktor terkait. Kemudian langkah yang tak kalah pentingnya adalah dibentuknya BAPEDAL pada tahun 1990 melalui KEPRES No. 23, 5 Juni 1990. badan ini diketuai oleh Menteri KLH dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Bapedal didirikan sebagai suatu  Lembaga Pemerintah Non Departemen (non-department government agencies). Perkembangan lebih lanjut adalah berkembangnya Pusat Studi Lingkungan (PSL) di perguruan tinggi di 27 provinsi. PSL pertama didirikan di Universitas Padjajaran pada tahun 1972. Sekarang ini jumlah PSL di Indonesia telah berjumlah 57 buah. Sedangkan jaringan koordinasi antar PSL didirikan tahun 1985 yang dikenal dengan Badan Koordinasi Pusat Studi Lingkungan (BKPSL) yang melaksanakn konferensi, menerbitkan jurnal dan bulletin. Gerakan Lingkungan di Indonesia diperkuat lagi dengan munculnya berbagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan yang berada di bawah naungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang didirikan pada tahun 1980 (World Bank, 1990).
Walaupun perhatian lingkungan di Indonesia telah muncul sejak berdirinya PSL dan juga berdirinya WALHI secara hukum perhatian lingkungan (khususnya dalam kaitannya dengan pelaksaan AMDAL untuk proyek pembangunan) baru diatur dengan keluarnya Hukum Pengelolaan Lingkungan 1982 yang diikuti peraturan pemerintah nomor 29 tahun 1986, boleh dikatakan agak lambat dibandingkan dengan ASEAN dan sekitarnya.
Sejak tahun 1987 tiap provinsi telah membentuk komisi AMDAL untuk menilai atau mereview AMDAL bagi proyek yang sedang berjalan atau proyek yang sedang diusulkan. Sampai pada pertengahan 1991 sekitar 1600 dokumen AMDAL telah dinilai dan sekitar 235 proyek telah melengkapi AMDAL yang berada di Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen pekerjaan Umum, Kehutanan dan Industri. Sekarang ini jumlahnya tentu jauh lebih besar.
Selama pelaksaan UNCED di Rio, Brasil pada bulan Juni 1992, Indonesia menandatangani Persetujuan yang dihasilkan antara lain Perubahan Iklim. Persetujuan ini disyahkan oleh MPR pada bulan Agustus 1994 dan ratifikasi disampaikan ke PBB pada bulan yang sama. Persetujuan itu mulai berlaku untuk Indonesia terhitung mulai 21 Nopember 1994 (OECD/IEA, 1996). Kemudian diikuti oleh proyek penelitian dan pengembangan perubahan iklim dan kebijaksanaan pengurangan emisi yang dilakukan atas kerjasama dengan berbagai kalangan dan Negara lainnya misalnya Amerika Serikat, Jepang dan Norwegia. Perkembangan terakhir pada tahun 1996 pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Keputusan Nomor 16/MENLH/4/1996 yang mengatur tentang Program “Langit Biru”. Program ini mewajibkan kalangan industri yang menandatangani surat kesediaan untuk memasang alat penurun kadar polutan gas buangan pabrik. Adapun jenis industri yang ditekankan untuk menandatangani program ini terdiri dari empat jenis industri yaitu industri baja, semen, pulp-kertas, dan industri bahan baker. Penentuan jenis industri ini didasarkan pada asset dan kualitas gas buang yang mereka keluarkan (Republika online, 15 Oktober 1996).
Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, adalah dasar hukum bagi penanggulangan masalah pencemaran lingkungan hidup.Program pemerintah mengenai lingkungan hidup telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, yang menentukan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah pembangunan berkelanjutan, dimaksudkan bukan hanya dilakukan oleh pemerintah pusat akan tetapi juga oleh pemerintah daerah di Indonesia yang berkesinambungan tanpa mengurangi hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Batasan ini menunjuk kepada konsep pembangunan berkelanjutan dari “World Commision on Enviroment and Development”, yakni pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi muda kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan generasi masa mendatang.
C.      Faktor Penentu Pelaksanaan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Pembangunan yang dijalankan di Indonesia sejak tahun 1970-an hingga sekarang masih cenderung fokus pada pembangunan ekonomi, bahkan pada pertumbuhan ekonomi yang cenderung jangka pendek. Sehingga masalah keberlanjutan belum menjadi prioritas utama. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi pun kualitasnya semakin memburuk. Apalagi dengan keterbatasan APBN dan sumber daya yang kita miliki, sehingga tidak mengherankan apabila pengambil kebijakan lebih memilih jalan pintas, yang cepat kelihatan hasilnya, kurang memperhatikan keberlanjutannya. Dalam perkembangannya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya terkait dengan aspek lingkungan hidup, namun juga pembangunan ekonomi dan sosial yang dikenal dengan the living triangle. Tidaklah mungkin lingkungan dapat dijaga dengan baik bila kondisi sosial dan ekonomi masyarakat buruk. Oleh karena itulah dalam rangka melestarikan lingkungan hidup kita secara berkelanjutan, pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan juga perlu dilakukan.
Dalam proses pembangunan berkelanjutan, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.         Cara berpikir yang integratif.
Dalam konteks ini, pembangunan haruslah melihat keterkaitan fungsional dari kompleksitas antara sistem alam, sistem sosial dan manusia di dalam merencanakan, mengorganisasikan maupun melaksanakan pembangunan tersebut.
2.         Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang.
Hingga saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para pengambil keputusan dalam pembangunan adalah kerangkapikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkanhasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan.Kondisi ini sering kali membuat keputusan yangtidak memperhitungkan akibat dan implikasi padajangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakanhutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjir yang semakin sering melanda dan dampaknya yangsemakin luas, krisis energi (karena saat ini kita telahmenjadi nett importir minyak tanpa pernah melakukanlangkah diversifi kasi yang maksimal ketika masih dalamkondisi surplus energi), moda transportasi yang tidakberkembang, kemiskinan yang sulit untuk diturunkan,dan seterusnya.
3.         Mempertimbangkan keanekaragaman hayati.
Untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa mendatang. Yang tak kalah pentingnya adalah juga pengakuan dan perawatan keanekaragaman budaya yang akan mendorong perlakukan yang merata terhadap berbagai tradisi masyarakat sehingga dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.
4.         Distribusi keadilan sosial ekonomi.
Dalam konteks ini dapat dikatakan pembangunan berkelanjutan menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan meratanya sumber daya lahan dan faktor produksi yang lain, lebih meratanya akses peran dan kesempatan kepada setiap warga masyarakat, serta lebih adilnya distribusi kesejahteraan melalui pemerataan ekonomi 
Masalah lingkungan adalah masalah yang sangat kompleks yang membutuhkan keterlibatan semua pihak baik pemerintah dengan seluruh perangkat terkait, pihak swasta dan pelaku ekonomi serta masyarakat luas. Semua unsur ini perlu keterpaduan dan kebersamaan dalam mensukseskan pelaksanaan PBL. Selain itu kajian lingkungan itu sendiri perlu melibatkan berbagai ahli (multidisipliner) baik dari sosial, ekonomi, lingkungan, hukum dan politik.
1. Kehendak Politik Pemerintah
   Kehendak politik pemerintah yang berkaitan dengan penanganan masalah lingkungan untuk mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan adalah faktor penting dalam mempercepat proses tersebut. Perbenturan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan kadang sulit bagi pemerintah untuk menerapkan konsep yang berwawasan lingkungan ini. Kehendak politik pemerintah tidak hanya dengan pernyataan dan simbol politik saja melainkan direalisasikan dalam kebijaksanaan dan ketertiban dalam pelaksanaannya. Institusi yang menangani serius masalah lingkungan harus diwujudkan serta aturan dan tindakan hukum bagi perusak lingkungan harus disusun dan dikeluarkan serta dilaksanakan sungguh-sungguh. Masalah politik pemerintah ini dianggap sebagai faktor utama apakah konsep PBL hanya merupakan cita-cita ideal atau terwujud dalam kenyataan. Pengalaman di negara maju, masalah lingkungan sudah menjadi topik politik utama untuk meraih kemenangan. Di Australia misalnya, Green Party (Partai Hijau, lingkungan) adalah partai yang menyuarakan pentingnya PBL ini. Walaupun partai ini kecil, tapi mampu mempengaruhi opini masyarakat untuk kasus lingkungan yang serius dan partai besar agar ikut memperhatikan untuk menarik simpati masyarakat. Oleh karena itulah, kehendak politik pemerintah memegang peranan penting dalam pelaksanaan PBL itu.
   Kemudian kehendak politik ini perlu diwujudkan dengan melalui pengenalan berbagai kebijaksanaan serta keseriusan dalam pelaksanaannya. Faktor terakhir merupakan kunci utama dari pembangunan yang berwawasan lingkungan. Penegakkna kebijaksanaan yang efektif dan efisien adalah penting untuk menjamin pencapaian tujuan dari kebijaksanaan lingkungan. Tapi dalam prakteknya hal ini sering menghadapi kendala, misalnya apakah pelaksanaan dari pengawasan itu dilakukan perusahaan sendiri atau badan yang bertugas khusus untuk itu (pemerintah); bagaimana frekuensi pemeriksaan agar efektif, bagaimana tingkat dan jenis penalti yang cocok untuk diterapkan bagi yang melanggar undang-undang; dan pada kondisi mana pemerintah akan menggunakan fasilitas pengadilan untuk menyelesaikan masalah lingkungan itu. Semua unsur ini harus dikaji dengan seksama agar memberikan alternatif terbaik bagi pelaksanaan kebijaksanaan lingkungan. Dilihat dari sisi kehendak politik ini, pemerintah Indonesia telah menunjukkan kesungguhan terutama dalam pembuatan kebijaksanaan tinggal bagaimana melaksanakannya secara efektif.
2. Peranan Institusi Lingkungan Pemerintah
   Salah satu tindaklanjut dari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, pemerintah telah mendirikan dan mengembangkan Institusi yang menangani isu lingkungan ini yaitu BAPEDAL dan PSL serta lembaga terkait. Lembaga ini boleh dikatakan sebagao ujung tombak bagi pelaksanaan kebijaksanaan lingkungan di Indonesia. Efektifitas dan efisiensi kerja dari lembaga ini menjadi kunci utama tercapainya tujuan kebijaksanaan lingkungan di Indonesia.
   Dalam menjalankan fungsi dari perannya secara efektif dan efisien, badan lingkungan tersebut masih menghadapi kendala baik yang berkaitan dengan kelembagaan maupun serta faktor lain (seperti pendanaan) dalam melaksanakan kegiatannya. Mac Andrews (1994) menilai bahwa struktur organisasi BAPEDAL yang ada tidak memenuhi dua kebutuhan penting bagi lembaga semacam BAPEDAL tersebut. Pertama, tidak ada unit melaksanakan pelatihan lingkungan yang bersifat umum/ general pada seluruh seksi badan tersebut. Pelatihan hanya terbatas disediakan dalam bidang AMDAL. Kedua, struktur organisasi tidak mencakup seksi hukum untuk menyiapkan peraturan (legislasi) dan standar serta untuk melakukan monitoring terhadap pelanggaran.
   Di samping hal-hal tersebut di atas, ada beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap efektivitas badan lingkungan tersebut:
·                Faktor pendanaan juga sangat berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi badan lingkungan tersebut. Selain ini, selain dana pemerintah sendiri, badan tersebut banyak memperoleh bantuan dari donor luar, misalnya Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia serta bantuan Bilateral. Dengan demikian, BAPEDAL harus berusaha menarik banyak donor untuk memberikan dana kontinyu, dengan menunjukkan kualitas dan kemampuan kerja untuk mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan. Harus ada komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan dana yang dibutuhkan dalam pengembangan badan lingkungan tersebut.
·                Birokrasi. Seperti juga dikemukakan oleh Mac Andrews (1994), birokrasi yang besar dan lamban serta prosedur pelaksanaan menjadi masalah tersendiri bagi badan lingkungan ini dalam mengembangkan tugasnya. Oleh karena itu, sisi birokrasi dan prosedur ini agar memperoleh perhatian sehingga badan tersebut bisa menjalankan tugasnya dengan efektif.
·                Kedekatan dengan pemerintah. Adalah penting bagi lembaga semacam BAPEDAL untuk menjaga jarak dengan pemerintah, dalam arti harus lebih independen sehingga badan ini bisa leluasa menjalankan tugasnya tanpa harus dipengaruhi unsur yang bersifat politis. Jika tidak, maka akan hanya menjadi badan yang memberikan justifikasi terhadap kebijakan pemerintah atau kepentingan tertentu yang dalam pandangan pembangunan berwawasan lingkungan tidak selalu sejalan. Kemandirian badan untuk memutuskan kelayakan proyek pembangunan baik itu proyek pemerintaj maupun swasta akan menaikkan peran dan kontribusi badan semacam BAPEDAL itu terhadap pembangunan berkelanjutan.
·                Ketersediaan staf. Ketersediaan staf yang terlatih dan berpengalamn dalam kaitannya dengan pengembangan lingkungan adalah sangat penting. Ketersediaan staf yang cukup akan menciptakan kerja yang profesional dan menghasilkan produk yang benar-benar memberikan dampak positif terhadap lingkungan.
·                Wewenang. Sejauh mana wewenang yang diberikan kepada badan semacam BAPEDAL akan mempengaruhi efektivitas kerja dan peranan lembaga tersebut. Mac Andrews (1994) menyatakan bahwa BAPEDAL tidak mempunyai kekuatan atau wewenang untuk memeriksa atau mengawasi sumber-sumber polusi. Hal ini mempengaruhi kemampuan BAPEDAL untuk melaksanakan tugas terutama dalam pelaksanaan dan penegakan kebijaksanaan nasional. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang dan peraturan yang memberikan wewenang BAPEDAL. Selanjutnya diikuti dengan pengadaan tenaga ahli dibidang hukum yang berkaitan dengan masalah lingkungan untuk melaksanakan tugas tersebut.
Faktor-faktor tersebut harus mendapat perhatian agar fungsi dan peranan BAPEDAL dalam pengendalian masalah lingkungan bisa berjalan efektif dan efisien dan memenuhi tuntutan pembangunan berwawasan lingkungan.
3. Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat
   Kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM (non-government organisation) yang bergerak dibidang lingkungan mempunyai arti tersendiri dalam gerakan PBL. Institusi semacam ini bisa secara langsung menangani proyek untuk mengatasi masalah limgkungan serta mendidik masyarakat akan sadar lingkungan. Dalam konteks yang lebih luas kehadiran institusi lingkungan semacam ini bisa merubah opini masyarakat untuk peduli lingkungan. Semakin banyak gerakan lingkungan seperti ini tidak saja mendorong partisipasi masyarakat tetapi juga mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan masalah lingkungan tersebut. Di pihak lain, pemerintah harus mendukung baik materil maupun non-materiil agar perkembangan institusi ini menjadi baik. Jadi ada interaksi aktif antara perkembangan LSM dengan kehendak politik pemerintah. Namun demikian, dalam politik, tidak jarang kehadiran lembaga swadaya masyarakat menimbulkan masalah tersendiri karena perbedaan konsep dan kepentingan. Lembaga yang mempunyai misi dan konsep yang berbeda dengan misi pemerintah dipandang sumber destabilisasi politik, sehingga perkembangannya terhambat atau dihambat. Harus diakui bahwa tarikan kepentingan memegang peranan penting dalam politik tapi sudah saatnya lembaga swadaya di bidang lingkungan diberikan lebih banyak tanggung jawab (otonom) dan dukungan politik baik dari pemerintah maupun masyarakat.
4. Peranan Sektor Industri
   Walaupun strategi dan kebijaksanaan lingkungan lebih diarahkan untuk sektor produsen dan kadang tidak menguntungkan secara ekonomi, dukungan pelaku ekonomi produsen adalah salah satu kunci utama dalam kesuksesan PBL. Masalah lingkungan timbul karena akrifitas ekonomi selama ini belum memperhitungkan biaya lingkungan atau sosial sebagai dampak dari aktifitasnya. Limbah industri dan pertanian misalnya memberikan kontribusi penting terhadap masalah lingkungan. Karena orientasi sektor ini dititikberatkan pada orientasi ekonomi, sedangkan pencegahan masalah ekonomi membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka agak sulit untuk tumbuhnya kesadaran pihak industri untuk melaksanakan upaya pengendalian lingkungan yang ditimbulkannya. Misalnya terlihat dengan adanya keengganan sebagian produsen di Indonesia dalam menerapkan kebijaksanaan Program pencegah polusi, LANGIT BIRU, yang dicanangkan pemerintah. Dari 11 industri yang layak untuk menjalankan program ini hanya tiga yang sudah menandatangani surat pernyataan program tersebut, yaitu PT.Indocement, PLTU Suralaya dan PT. Krakatau Steel. Alasannya adalah harga alat penyaring udara hasil buangan pabrik sangat mahal. Harga setiap unitnya berkisar Rp 140 milyar hingga Rp 150 milyar (Republika online, 15 Oktober 1996). Sistem pengendalian seperti ini memang memiliki kelemahan seperti mahal dan secara teknis sangat sulit terutama dalam meningkatkan kemampuan (update) alat yang digunakan. Namun demikian, sikap penolakan itu tidak hanya dibebankan pada sektor industri sendiri tetapi lebih dilihat sebagai suatu sistem pembangunan secara keseluruhan. Paling tidak, ada tiga unsur penting yang menentukan yaitu pemerintah, pihak industri dan masyarakat. Misalnya, pengenalan kebijaksanaan lingkungan haruslah transparan dan memiliki dasar yang jelas, sehingga dapat dipahami oleh pihak industri. Kemudian bisa juga dipertimbangkan alternatif kebijaksanaan lain, seperti kemungkinan perijinan emisi yang bisa diperdagangkan dengan menentukan standar emisi yang dibolehkan, selanjutnya pihak industri akan membayar setiap per unit emisi yang melebihi standar. Adanya berbagai alternatif memungkinkan pihak industri untuk mempertimbangkan alternatif mana yang lebih efisien. Daripada hanya mengandalkan metode pendekatan hukum dan perundang-undangan maka perlu diberikan alternatif kebijaksanaan dengan pendekatan ekonomi karena pendekatan ekonomi tidak hanya memberikan suatu perusahaan suatu fleksibilitas yang berkaitan dengan pilihan metode pengendalian polusi tetapi juga menyediakan insentif bagi perusahaan untuk mengurangi emisi polusi mereka.pada pihak industri sendiri harus ada upaya pendidikan atau kursus untuk para eksekutifnya tentang pentingnya perhatian masalah lingkungan sehingga tumbuh kesadaran dari dalam untuk melaksanakan kebijaksanaan lingkungan. Paling tidak, biaya lingkungan dimasukkan dalam komponen biaya perusahaannya. Harus ada dukungan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan yang sehat dan baik sehingga masyarakat bisa berpartisipasi aktif dalam penyuksesannya.
   Untuk memperlancar pelaksanaan perlu dibuat peraturan dan undang-undang yang membatasi terjadi polusi atau kompensasi terhadap polusi yang ditimbulkan, serta diterapkan sanksi yang berat jika terjadi pelanggaran dan diperkenalkan mekanisme pasar atau instrumen ekonomi seperti pajak bagi pencemar dan subsidi bagi yang memelihara lingkungan. Selanjutnya regulasi dan mekanisme ini diterapkan dengan ketat, sehingga memberi hasil maksimal.
5. Peranan Media Massa
   Peranan media massa sangat penting dalam mendorong kesadaranmasyarakat akan pentingnya masalah lingkungan. Media massa tidak hanya berfungsi sebagai penyebar informasi tapi sekaligus bisa merubah opini masyarakat tentang masalah yang diberitakan. Hal yang sama bisa terjadi dalam sosialisasi dan penyampaian informasi tentang lingkungan. Sadar lingkungan merupakan kunci penting tentang partisipasi aktif masyarakat dalam menangani masalah lingkungan. Pemberitaan yang sering tentang masalah linkungan serta masalah yang berkaitan dengan pelaksanaannya, pelanggaran serta proses pelaksanaan AMDAL misalnya akan efektif bagi peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan.
   Dalam dua atau tiga dekade yang lalu (terutama di negara maju) lingkungan muncul sebagai isu penting dalam semua seksi pemberitaan. Peningkatan dramatis terjadi tahun 1968 dan 1969 lalu meningkat tajam pada tahun 1972 ketika diadakan Konferensi PBB tentang lingkungan dan kemudian menurun pada pertengahan 1980-an dan diikuti dengan peningkatan yang drastis pada akhir tahun1980-an dan tahun 1990-an. Sekarang ini jurnalis dan akademis telah mengakomodasi kekhawatiran masyarakat tentang lingkungan. Mereka menganggap bahwa lingkungan global adalah dibawah ancaman. Para akademisi telah menerbitkan banyak tulisan dan mereka menaruh harap bahwa media bisa bertanggungjawab dalam mengkomunikasikannya secara akurat dan mempertahankan kepentingan masyarakat tentang kualitas lingkungan. Dalam hal ini pers atau media massa harus merupakan alat komunikasi yang efektif tentang isu lingkungan.
   Lacey dan Longman (1993) meneliti liputan media terhadap empat media terkemuka (the Guardian, Today, The times an the Daily Telegraph) antara Januari 1987 sampai dengan April 1991, menjumpai bahwa liputan media massa tentang masalah lingkungan tidaklah konstan (stabil). Misalnya, liputan tentang kenaikan suhu bumi (global warming) yang cukup tinggi pada tahun 1989 dan 1990 telah berkurang pada sekitar musim semi 1991. Namun demikian, efek kebijaksanaan yang diliput oleh media mssa yang diteliti dalam kaitannya dengan masalah lingkungan adalah jelas dan stabil. Temuan lain adalah media cenderung membatasi diri untuk meliput berita lingkungan yang bertendensi politik dan isu pembangunan tertentu.
   Peranan media massa untuk mendewasakan rakyat dan untuk menyuarakan aspirasi rakyat tentang problema lingkungan tidak bisa dipungkiri. Untuk tujuan ini, media massa harus memiliki komitmen sendiri tentang hal ini. Komitmen itu lalu diwujudkan dalam pendidikan dan pembinaan staf tertentu yang berkecimpung dalam masalah lingkungan, dan memberikan porsi yang cukup bagi isu lingkungan yang dikaji dan dianalisa dengan objektif dan akurat. Disamping itu media massa bisa memberikan kontribusi yang lebih jauh lagi yaitu misalnya menjadi sponsor bagi acara dan program yang mendorong peningkatan kesadaran lingkungan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.
6. Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat
   Kesadaran masyarakt umum akan lingkungan merupakan faktor penting dalam pelaksanaan PBL. Pertisipasi masyarakat terhadap masalah lingkungan sangat tergantung pada tingkat kesadaran dan kepedulian mereka terhadap masalah lingkungan tersebut. Kesadaran ini mulai tumbuh jika masyarakat sudah merasakan pentingnya lingkungan sabagai aset dan konsumsi berharga. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pengendalian masalah lingkungan perlu upaya yang terarah dan berkesinambungan disamping peningkatan faktor-faktor di atas. Usaha peningkatan pasrtisipasi masyarakat bisa diupayakan dengan macam cara terutama untuk meningkatkan pengetahuannya tentang dampak kerusakan lingkungan terhadap kehidupan manusia. Untuk itu perlu dikembangkan usaha pendidikan formal maupun non formal seperti berikut :
1.         Memberikan mata pelajaran khusus tentang lingkungan dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi yang kurikulumnya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan anak didik.
2.         Mendorong meningkatnya publikasi tertulis maupun elektronik tentang masalah lingkungan.
3.         Mengembangkan kegiatan tentang cinta lingkungan yang diintegrasikan dalam program organisasi kemasyarakatan (Ormas).
4.         Menciptakan program yang bersifat lokal, nasional, maupun regional yang mendorong partisipasi masyarakat
5.         Adanya upaya pemerintah untuk mengalokasikan dana yang cukup bagi kegiatan dibidang lingkungan termasuk penelitian dan pengembangan
Usaha-usaha seperti itu akan mendorong meningkatnya partisipasi masyarakat dalam waktu yang relatif cepat. Partisipasi masyarakat terhadap masalah lingkungan adalah sebagai berikut :
·                Peningkatan kesadaran akan hidup yang bersih, sehat dan sejahtera, pembuangan sampah dan sanitasi yang baik bisa menekan masalah lingkungan;
·                Preferensi konsumsi yang memberikan insentif bagi pengembangan produk yang bernuansa lingkungan atau produk ramah lingkungan (green consumerism). Langkah ini misalnya dengan mengkonsumsi barang berdimensi lingkungan dan menghindari barang yang merusak lingkungan
·                Adanya kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap masalah lingkungan akan meningkatkan peran masyarakat dalam mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (lingkungan sebagai isu politik yang menentukan) sehingga integrasi lingkungan dalam kebijaksanaan pembangunan dapat dilaksanakan secara seksama.
Pada akhirnya kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap masalah lingkungan merupakan kekuatan utama, tidak hanya berdimensi sosial-ekonomi tetapi politis yang menentukan untuk mengubah arah pembangunan ke pembangunan berwawasan lingkungan.

                                                        
PENUTUP
A.      Kesimpulan
·      Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tiga dekade terakhir berkembang dengan pesat. Pertumbuhan sektor industri dan pertanian berlangsung dengan pesat. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat ini, mulai muncul kesadaran akan bahaya lingkungan sebagai efek samping dari pembangunan tersebut.
·      Masalah lingkungan yang ada di Indonesia seperti deforestrasi, degradasi lahan, kekurangan air, dan polusi udara serta polusi air.
·      Dari sisi pemerintah, perkembangan perhatian masalah lingkungan sudah dimulai sejak awal orde baru terutam setelah Konferensi PBB tentang lingkungan pada tahun 1972; tapi perhatian yang lebih serius terjadi ketika pemerintah mengangkat Menteri Lingkungan Hidup pada tahun 1992, yang mana sebelumnya masih bergabung dengan departemen lain. Perkembangan berikutnya sudah mengarah kepada kebijaksanaan yang bersifat teknis yang mengatur upaya pengendalian masalah lingkungan.
·      Untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan di perlukan adanya partisipasi dari berbagai pihak seperti masyarakat, pemerintah, LSM, dan pihak-pihak terkait lainnya.
B.       Penutup
Kerusakan lingkungan hidup dapat terjadi karena tidak adanya kesadaran dan komitmen yang cukup dari para penyelenggara negara tentang pentingnya kelestarian lingkungan. Terlebih, terutama karena kerakusan manusia, yang ingin memaksimalkan pemenuhan kebutuhannya, tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan. Kebijakan, perangkat hukum dan penegakan, dengan dukungan semua stakeholders, perlu diperkuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar